Kajian Pra Nikah: Pola Asuh Berdasarkan Usia (Ust. Budi Darmawan) #NulisSkripsi

Perilaku satu anak diperoleh melalui proses belajar. Mereka belajar melalui pengalaman apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar.

Seorang ustadz, seorang kepala sekolah, seorang Psikolog, tidak menjamin dapat mendidik anaknya lebih baik daripada orang lain. Yang dapat menjamin pendidikan seorang anak adalah, apakah orang tuanya mendidik anak tersebut under control atau lost control.

Oleh karena itu Islam memiliki sarana-sarana untuk mendidik anak, sarana ini ada 5

  1. Al-Qudwah: Jangan mengharapkan anak meneladi Rasululloh jika kita juga tidak bisa menjadi teladan dalam meneladani Rasululloh. Penasehat terbaik adalah orang yang menasehati dengan perilaku.
  2. Al- aadah: Penguatan
  3. Al-Mulahadzoh: Pengawasan/Kontrol
  4. An-nasihat: Nasehat
  5. Al-uqubah: Hukuman

Urutan ini tidak boleh terbalik, harus selalumenasehati dulu, jangan langsung menghukum, anak salah, belum diberi contoh, belum dinasehati, malah langsung menghukum.

Dari 5 sarana ini, yang paling penting adalah al-mulahadzoh (Pengawasan). Maka yang paling penting bukan sehebat apa imu kita, tapi pastikan quality control pendidikan anak terjaga dengan baik. Baca lebih lanjut

Kajian Pra Nikah: Pendidikan Anak dalam Islam (Ust. Bendri Jaisurrahman) #NulisSkripsi

Orang tua yang tak belajar bagaimana menjadi orang tua sejatinya sedang mempersiapkan  kehancuran keturunannya karena tak mau memahami bagaimana tangggung jawab dan perannya.

Seperti biasa, videonya Saya simpan d bawah, ya.

Bagaimana cara mempersiapkan anak remaja?

Remaja ada dua kategori

  1. Anak yang bergantung pada orang tua, segala sesuatu apa kata ibu, dia tidak bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Itu lah yang banyak terjadi pada anak-anak sekarang  di mana dia tidak memiliki otoritas terhadap dirinya. Sehinngga jadilah anak-anak yang terombang-ambing, anak-anak yang tidak bisa mengatakan tidak pada sesuatu yang bertentangan dengan akalnya.
  2. Yang ke dua, anak yang terlalu mandiri bahkan cenderung melawan, selalu beda dengan orang tuanya

Dua kategori ini, terjadi karena kesalahan pengasuhan orang tua.

Anak yang pertama sepertinya taat, tapi tidak memiliki otoritas, bahkan nanti ketika dewasa bahkan menikah dia tidak bisa menjalankan roda “pemerintahan” dalam keluarga karena intervensi ayah dan ibunya.

Sedangkan anak yang ke dua terlalu liar, tidak bisa diatur, tidak bisa dicegah. Baca lebih lanjut

Tes TOAFL & TOEFA di UIN Bandung

TOAFL & TOEFA baru jadi syarat kelulusan di UIN Bandung mulai tahun 2017. Di SK yang beredar di fakultas Psikologi tes ini jadi syarat wajib semua angkatan yang akan sidang. Termasuk angkatan 2009, 2010, 2011, 2012. Tapi saya nanya teman Saya angkatan 2011 anak Ushuluddin katanya mereka tidak diwajibkan TOEFA & TOAFL. Enak ya.

Jadi, untuk ikut tes ini kita daftar dahulu di lc.uinsgd.ac.id, isi data, lalu pilih tes yang mau diikuti, cetak kartu, nanti langsung bayar ke petugas di Language Center. Tidak harus ikut dua-duanya, bisa ikut satu tes dahulu. Jadwal tesnya sudah ditentukan TOEFA setiap hari Selasa jam 9 dan TOAFL setiap hari Jum’at jam 9. Enaknya, kalau tes di LC UIN, sistemnya sudah online. Computer based, bukan paper based, jadi setelah kita klik finish, skornya bisa langsung kita lihat, jadi gak perlu nunggu sertifikatnya buat tahu skor.

TOAFL (Test of Arabic as Foreign Language)

Saya ikut tes ini hari Jum’at. Soal tesnya terdiri dari listening, structure, reading (Saya gak tahu istilah bahasa Arabnya apa, lupa. Maafkan :))).
Jujur tes ini Saya tidak mempersiapkan apa-apa, ya buat apa? Gak ngerti juga harus belajar apa. Toh waktu belajar bahasa Arab semester 1 & 2, ya belajar dasar aja.

Baca lebih lanjut

Kampus Ini Sedang Diimunisasi

Di depan televisi, Saya dan beberapa orang keluarga, nonton berita. Mungkin sedang ngetren anak di bawah 17 tahun sudah jadi Mahasiswa. Jurusannya tidak main-main, Kedokteran, Teknik, dlsb di Universitas ternama. Di Televisi si ibu berbicara ‘Dulu anak saya sulit sekali ketika ingin melanjutkan sekolah ke jenjang di atasnya, terkendala peraturan usia yang ditetapkan pemerintah. Padahal walaupun usianya masih kecil, kemampuannya di atas anak-anak sebaya’.  Orang-orang yang menonton televisi mulai berkomentar, Saya hanya mengangguk-angguk  tanda menyetujui peraturan pemerintah. Toh perkembangan IQ tidak selalu berbanding lurus dengan EQ. Saya yang kuliahnya fokus kekanak-kanakan memang sering banget membahas milestones pekembangan anak mulai dari fisik, psikis, emosi. Ya, wajar saja pemerintah membuat peraturan batas usia. Kasihan saja, anak Usia kelas 1 SMA gaulnya sama anak usia semester satu kuliah *IMHO. Lalu orang-orang di sekitar saya mulai berceloteh ‘bego banget sih pemerintah, gitu sih Indonesia mah, Ya gimana bisa maju di negara ini, anak pintar dihalang-halangi sekolah, Pemerintah itu ya, bikin peraturan gak mikir, dan blablabla’. Saya cuma melongo dengar orang ngebego-begoin pemerintah, bilang yang bikin peraturan gak mikir, gak punya otak. What a…. Saya sih masih sabar di situ, saya tahu dan mereka gak tahu kalau sekolah itu bukan hanya tentang IQ, bukan hanya tentang bisa mengerjakan soal, tapi tentang segala aspek yang dibahas di Psikologi Perkembangan, di Pedologi, di DDTKA, di Psikologi Pendidikan, yang kalau dijabarkan gak cukup kuliah satu semester. Mereka gak tahu, mungkin yang merumuskan peraturan ini adalah Psikolog, praktisi pendidikan, konselor yang ilmunya jauh di atas mereka dan juga saya. Terus kita sok tahu gitu ngebego-begoin peraturan yang mereka bikin, merasa kita paling bisa dan tahu konsekuensinya?

Dari situ saya mikir, mungkin juga saya sering jadi bagian dari mereka yang kalau ada peraturan yang gak sreg langsung ngebego-begoin, bilang gak becus, gak mikir. Tanpa banyak baca, banyak tahu, klarifikasi. Duh, mungkin benar semakin kita awam, semakin kita banyak komentar.

cuti

Saya gak nyangka aja di usia Saya yang ke-20 lebih sekian, urusannya masih ecek-ecek. Gentayangan di kampus, gak jelas. Setelah kasus “Salah nulis” Berlarut-larut dengan kalimat “Ntar aja neng!”, “Besok aja neng”, “Bapak ininya gak ada!” semakin saya mengerti kenapa di kampus ini sering banget ada yang demo. Fyi, saya bukan anak organisasi ekstra manapun, dan saya juga bukan anak UKM atau UKK manapun, makanya dulu saya paling gak suka kalau ada yang demo di kampus, berisik, sok heroik banget saya bilang. Saking gak sukanya Saya pernah dikasih selebaran sama teteh yang lagi aksi, saya robek kertasnya di depan si teteh sambil melipir pergi, terus si tetehnya ngomel gak jelas. Haha.

Masuk Semester XI

Sudah gak ngerti lagi dengan sistem administrasi yang ada di kampus kesayangan sehingga menyebabkan kerugian di pihak Saya.

Saya yang tidak tahu menahu asal mula kejadian ini tiba-tiba kena getahnya. Kronologi kejadian seperti ini.

Juni 2015

Saya melakukan pembayaran SPP untuk semester 9. Ya, semester 9 karena saya tidak yakin akan lulus tepat waktu atau bisa sidang bulan Agustus 2015.

Juli 2015

Saya melaksanakan Sidang Komprehensif dimana PROSES PENDAFTARAN dilakukan di TU Fakultas BUKAN di Rektorat (Al-Jami’ah), sedangkan urusan saya dengan Al-Jami’ah pada bulan Juli hanya ketika saya mengambil surat keterangan lunas SPP sampai semester 8 yang prosesnya hanya 5 menit saja.

Saya datang dengan beberapa teman, kira-kira berdelapan orang kami ke sana. Pada periode ini, terdapat sekitar 50 Mahasiswa Psikologi yang melaksanakan sidang Komprehensif.

September 2015

Saya dipanggil pihak TU Fakultas, karena nama saya ada di daftar wisudawan periode September 2015. Saya menjelaskan tidak pernah melakukan pendaftaran apapun, terutama pada bulan September, saya belum melakukan Ujian Proposal apalagi sidang Munaqosah. Logikanya, saya tidak akan bisa daftar wisuda tanpa surat keterangan lulus dari fakultas, tanpa bayar ke bank, tanpa berkas-berkas lainnya yang memang saya tidak punya. Saya pikir sampai di situ masalah sudah clear “Oh nama saya Cuma nyelip aja, gak ada masalah apa-apa”.

Baca lebih lanjut

The Power of ‘Udunan’

Tiba-tiba pengen nulis ini setelah sadar Mei kemarin gak nulis apa-apa. Ya emang beberapa bulan ke belakang gak nulis apa-apa sih.

Kangen anak-anak kelas yang katanya pada juara. Ciye, kata dosen-dosen sih gitu :D. Jadi mau cerita anak kelas yang super.

Kita, Mahasiswa Psikologi angkatan 2011 kelas B. Ada 32 Orang, yang belum lulus sisa 9 orang *skip. Selama 7 semester sekelas, kecuali pas mata kuliah pilihan. Kita punya kebiasaan unik, mungkin karena teman-teman saya pada shaleh-shalehah, fastabiqul khairat-nya gede banget. Selama 7 semester itu Alhamdulillah tidak pernah putus baca Al-qur’an tiap pagi bergiliran. Meskipun ya ada malesnya, sebulan, dua bulan gak baca al-qur’an kemudian digalakan lagi, males lagi, digalakan lagi. Tapi Alhamdulillah semua anak kelas pernah baca Al-qur’an bergiliran di depan kelas. Kita sudah baca al-qur’an di kelas sebelum hari ini kebiasaan tilawah di fakultas di gembar-gemborkan *eh sombong, maaf.

Dari semester awal kita memang punya kas kelas yang gunanya untuk … banyaklah~. Nah sampai semester 5 apa 6 ada inisiatif untuk menggalakan infaq setiap hari, seikhlasnya. Untuk apa? Awalnya kami tidak terpikir jika uang itu sudah terkumpul banyak akan digunakan untuk apa. Kalau dipikir-pikir sekarang, kok anak-anak di kelas saya percaya aja ngasih uang ikhlas gitu padahal gak tahu buat apa, haha.

Ceritanya, minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan, dan tibalah bulan Ramadhan. Waktu itu tahun 2014 kalau gak salah. Setelah ngobrol ini itu, akhirnya kita tahu uang sekelas yang kita kumpulkan selama beberapa bulan itu cukup untuk Silaturahmi dan buka bersama di salah satu Rumah Yatim di Kota Bandung. Gak mewah sih, cukup untuk takzil, makanan berat, dan beberapa hadiah kecil yang kami berikan untuk anak-anak di sana.
Bungkusin kado sendiri, bikin takzil sendiri, kangen banget suasana gini.

Hari ini, 2 tahun berlalu. Dulu Saya pikir apa yang dilakukan kelas saya biasa aja. Tapi kok hari ini ngerasa keren banget ya. Gak nyangka aja uang yang kita sisihkan cuma 1000-2000  perak setiap hari, bisa digunakan untuk berbagi dengan 30-an anak yatim dan tidak mengeluarkan dana pribadi lagi. Dulu saya pikir kalau mau buat acara gini harus bikin proposal dulu, cari sponsor dulu, apalah dulu. Tapi enggak yah ternyata the power of ‘udunan’ itu emang keren banget. Mungkin anak kelas ngasihnya ikhlas jadi uang yang terkumpul itu berkah. Ah kangen orang-orang yang ngajakin berbuat kayak gini lagi. Sayang dokumentasinya ntah di mana, di siapa -,-.

Ah, kalian emang juara!
Garut, 6 Ramadhan 1437 H.

Kalian emang juara!

#NulisSkripsi: Tipe Pola Asuh

Pembimbing : Jadinya apa?

Saya                  : Pola asuh orang tua

Pembimbing : Kenapa harus pakai orang tua? Kan Pola asuh pasti oleh orang tua?

Saya                  : euuuuu… *krikrik

Pembimbing : Pola asuh yang mana?

Saya                  : Otoriter

Pembimbing : Loh ini authoritarian, beda sama otoriter.

Saya                  : Loh pak, kan authoritarian memang otoriter.

Pembimbing  : Enggak, beda.

Saya                  : Tapi, pak, ciri-cirinya sama.

Pembimbing  : authoritarian sama dengan demokratis.

Saya                  : Loh, pak, bukannya demokratis itu authoritative?

*baca jurnal Baumrind bentar*

Pembimbing  : Oh iya.

saya                  : *gak ngomong apa-apa*

Parenting style, atau pola asuh pertama kali dicetuskan oleh Diana Baumrind tahun 1966. Waktu itu Baumrind sadar kalau orng tua membesarkan anaknya dengan cara yang beda-beda, dan pola asuh tersebut memberikan pengaruh positif dan atau negatif bagi perkembangan anak, baik itu perkembangan emosional, sosial kognitif dan juga afektif.

Baumrind menyebutkan bahwa kontrol atau tipe pengasuhan pada anak terbagi menjadi tiga; permissive, authoritarian dan authoritative.

Tipe pengasuhan ini didasarkan pada 2 dimensi, dimensi rensponsiveness termasuk di dalamnya cara berkomunikasi, kehangatan dan kasih sayang, dalam dimensi ini dapat terlihat apakah orang tua memberikan apa yang dibutuhkan anak atau bahkan me-reject. dan dimensi control, dalam dimensi ini terdapat kedisiplinan dan hukuman yang orang tua berikan kepada anaknya.

Baca lebih lanjut

#NulisSkripsi : Menentukan Tema dan Judul, Mencari Teori

Tiba-tiba pengen nulis ini. Tema skripsi saya :D.
Jadi ceritanya, setelah bolak-balik mencari tema akhirnya diberi insight sama pembimbing. Kira-kira percakapannya gini

P : Jadi tentang apa?
S : Orientasi masa depan, pak
P : Jadinya?
S Iya pak, faktor-faktor yang memengaruhi OMD
P Jangan faktor-faktor. Nanti kamu kesulitan. Nanti datanya harus banyak, ngambil datanya lama. Analisis datanya susah jadinya kan nanti faktorial.
S Jadinya gimana pak?
P Faktor OMD apa saja?
S banyak pak, ada jenis kelamin, budaya, Pola asuh, pendidikan blablabla
P Oke, sekarang tentukan satu aja faktornya. Biar gampang. Kira-kira faktor yang mana yang akan kamu teliti
S Faktor pola asuh pak
P Kenapa?
S Soalnya saya baca jurnal blablabla (Ceritain jurnal-jurnal yang dibaca)
P Yaudah itu aja.

Baca lebih lanjut

Konseling Trauma di Indonesia

Prof. Louis Downs Phd beserta Dekan dan Dosen Fakultas Psikologi UIN Bandung

Prof. Louis Downs, Ph.d beserta Dekan dan Dosen Fakultas Psikologi UIN Bandung

trauma 2

Prof. Louis Downs, Ph.D beserta Dekan Fak. Psikologi UIN Bandung Dr. Agus Abdul Rahman, M.Psi

Materi ini disampaikan oleh Prof. Louis Downs, Ph.D ketika berkunjung ke Fakultas Psikologi kemarin. Downs merupakan salah seorang dosen di Brunei Darussalam, lulusan Universitas California, beliau sudah memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam menangani trauma bencana, kesehatan mental, konseling keluarga, dlsb.

Beberapa tahun ke belakang, Downs bermukim di Indonesia untuk melakukan suatu penelitian tentang trauma pada korban bencana di Indonesia.

Baca lebih lanjut

Catatan Seminar Proposal Penelitian

a

Seminar Proposal Penelitian atau yang lebih dikenal di kampus saya dengan istilah UP (Ujian Proposal) merupakan satu tahapan yang harus dilewati semua mahasiswa yang akan melakukan penelitian alias menulis Skripsi. Intinya ketika seminar kamu ditanya “Mau penelitian ya? Sudah siap gak? Landasan teorinya paham gak? Langkah-langkah penelitiannya sudah direncanakan?” ya gitu, anggap aja lagi ngobrol.

Btw, di kampus saya sebelum Seminar, semua mahasiswa harus melewati berbagai tahap salah satunya lulus mata kuliah Metodologi Penelitian 1, 2 dan 3. Setelah lulus Metodologi Penelitian 3 dengan nilai C, mahasiswa diperkenankan untuk mengikuti Ujian Proposal setelah proposal tersebut di-acc pembimbing. Btw, Saya lulus Metodologi Penelitian 3 ketika bulan Januari kemarin, baru UP tanggal 28 Oktober, pura-pura lupa belum UP selama 8 bulan. HAHA.

Kenapa sih belajar metodologi penelitiannya banyak banget, 3 kali dengan total 7 Sks? Karena di Metpen 1 & 2 kita hanya belajar teori, kualitatif itu apa? Kuantitatif itu apa? Eksperimen bagaimana? Studi kasus sama Fenomenologi bedanya apa? Cara menulis Definisi Operasional yang baik gimana? Populasi, sampel, teknik sampling, snow ball, stratified sampling, blablabla. Nah, di Metpen 3 sistem pembelajaran diubah. Semua mahasiswa dibagi kelompok, dan masing-masing kelompok mempunyai pembimbing, dan setiap mahasiswa akan diberi kartu bimbingan.

Pembelajaran di kelas ketika mata kuliah ini, rata-rata hanya 45 menit selebihnya dosen memberikan tugas “Tentukan tema ya, cari jurnal ya, cari fenomena ya, cari masalah ya, blablabla”. Di akhir perkuliahan tugas UAS-nya adalah mengumpulkan proposal penelitian dari Latar Belakang Masalah sampai metodologi Penelitian. Nilai akan keluar dengan syarat; Satu, Ada Proposal; Dua, ada acc pembimbing dengan jumlah bimbingan minimal 4 kali. Dan terakhir, harus ada tanda bukti pernah menghadiri -nonton yang- Sidang UP minimal 4 kali, biasanya ini dibuktikan dengan tanda tangan penguji.