Demam Berdarah (lagi)

Sampai mana cerita tentang wabah demam berdarah kemarin?
Iya, ceritanya di kostan ini banyak orang terkena demam berdarah, terakhir Saya cerita kalau yang kena DB itu 4 orang dan ternyata itu belum selesai.

Senin kemarin, Saya sms temen kostan mau berangkat ke kampus jam berapa, lalu teman saya balas “gak bakal ke kampus, aku demam…”. Kirain saya dia cuma berobat ke klinik ternyata dia sampai dibawa ke rumah sakit, dicek darah dan dikasih macam-macam obat. Waktu dicek darah hasilnya negatif kena DB.

Hari Rabu dia sempat ke kampus maksain buat praktikum, nah di hari yang sama juga teman kostan saya yang satu lagi demam. Akhirnya, yang sakit ada 2 orang. Sebut saja 2 orang yang sakit ini H dan L. Di hari yang sama sebagian anak kelas pergi ke Ciamis, termasuk F teman kostan saya yang lain.

Hari Kamis H lumayan mendingan, nah L juga lumayan mendingan karena dia juga sempat ikut latihan nari buat acara di kampus.

Hari Jum’at Saya, L dan H ke kampus karena memang kita panitia acara. Sampai kampus H ngedrop lagi, L yang kemarin demam sempat tampil nari Saman. F juga datang ke kampus ‘maksakeun’ dia baru pulang dari Ciamis jam 10 malam.

Dzuhur F nganter H Cek ke rumah sakit. Akhirnya karena H semakin ngedrop F nganter H ke Tasik. Keren dong si F dalam waktu 48 jam Bandung – Ciamis – Bandung – Tasik – Ciamis. Sementara L terlihat lebih sehat.

Sabtu subuh, dapat 2 sms kabarnya H “aku positif DB” dan F ngesms “Mi, aku dirawat…”
Dan saya cuma bisa shock, 2 temen saya dirawat di RS barengan.

Sabtu pagi saya sama L ke kampus, buat ngumpulin laporan praktikum. Sampai sore hari L ngesms “Mi, aku gak pulang ke kostan, langsung ke Cimahi, demam lagi…” saya kira cuma demam biasa, karena hari Rabu pas dicek tidak terdeteksi apa-apa.

Minggu pagi dapat sms dari L “aku positif DB” dan saya benar-benar shock. Sabtu 2 teman masuk RS, Hari Minggu satu lagi teman dirawat.

Ok, di kostan ini ada 4 anak Psikologi. Sampai detik ini 3 anak dirawat di RS. Cuma saya yang selamat. Pantas saja tadi waktu ke kampus anak-anak kelas pada ngajakin ngungsi “Mi, hayu nginep aja daripada kamu jadi yang selanjutnya…” wew tenang aja kali, saya sudah ekstra hati-hati :-).

Dari kejadian ini saya jadi ngerti pola demam berdarah itu gimana. Pertama-tama demam selama 2 atau 3 hari, nah selama demam awal itu tidak terdeteksi DB. Hari ke 3 sampai 5 biasanya demam turun dan orang yang terkena DB bakal ngerasa sehat. Nah di hari ke 5 dan selanjutnya baru terdeteksi DB. Penyebabnya selain gigitan nyamuk juga karena sistem imun yang lemah. Saya ingat H itu demam ketika pulang aksi sosial sampai tengah malam, L demam ketika pulang dari Braga malam-malam. Dan F dirawat ketika sudah bolak-balik Bandung-Ciamis-Bandung-Ciamis dua hari berturut-turut.

Karena kejadian ini saya jadi lebay. Beres-beres kostan, buang barang bekas, beli lotion anti nyamuk, beli anti nyamuk elektrik, banyak beli jus jambu merah, banyak minum vitamin C (dan gara-gara ini saya juga jadi tahu kalau kebutuhan vit. C kita itu cuma 50mg perhari, lebay banget yang minum vitamin sampai 1000mg, WOW), Saya juga jadi tahu kalau banyak minum Vit. C itu bisa ganggu kerja ginjal. Jadi ya secukupnya aja.

Ini saya di kostan sendiri. Akhir-akhir ini agak horor juga sih, bagaimana tidak dalam 2 bulan 7 orang kena DB, siapa yang gak takut. Eh tapi DB itu gak nular antar manusia loh sebenarnya, jadi jangan takut dekat sama orang DB. Harus diwaspadai mah bukan penghuni kostan yang sakitnya tapi nyamuknya -_-. Tapi tenang aja kok, obat nyamuk elektriknya standby selalu nyala, tidur juga pakai lotion anti nyamuk, selimut sama kaos kaki juga gak ketinggalan kok. Ah iya, pakaian yang digantung-gantung juga sudah dikurangin. Sekarang banyak minum kok, makan teratur kok. Masa sih ya udah perlindungan ekstra gini nyamuk masih berani dekat?.

Seperti do’a di awal bulan “Tuhan, jadikanlah awal Mei ini baik, sepanjang Mei ini baik, dan berakhirlah Mei dengan baik, semoga saya disehatkan selalu, aaamiinn” šŸ™‚

Terimakasih Psikodiagnostika

Waktu adalah Kepercayaan

Sejak kuliah Psikodiagnostika, saya mengenal 2 jenis waktu. Satu, waktu Indonesia dan satu lagi waktu Psikodiagnostika. Waktu Indonesia adalah waktu dimana ketika ada acara jam 07.00 pagi maka kita akan mulai jam 07.30, sedangkan yang dimaksud waktu Psikodagnostika adalah waktu dimana ketika ada acara jam 07.00 pagi maka kita sudah siap sedia jam 06.30.

Maka jangan heran, ketika praktikum klasikal I satu kita ā€œdiomelinā€ habis-habisan oleh dosen, tim pembimbing, dan pihak laboratorium gara-gara kita baru ambil alat tes jam 12.25 sedangkan di jadwal, jam 12.30 sudah harus mulai praktek. Dan akhirnya jam 12.45 kita baru mulai praktek. Tadi, seperti hari Senin sebelumnya jam 7 pagi itu kuliah psikodiagnostika. Seperti biasa yang hadir di kuliah ini adalah Tim dosen dan 4 pembimbing, sebelum dosen datang pembimbing nanya ā€œTahu gak kenapa kalian diomelin habis-habisan waktu klasikal I? Karen waktu itu adalah kepercayaan, mungkin bagi kalian sepele 15 menit. Tapi coba bayangkan kalau kalian direkrut perusahaan untuk tes masuk karyawan lalu kalian telat, siapa yang rugi? Perusahaan akan kehilangan kepercayaan pada kalian. Jadi jangan anggap waktu beberapa menit itu sepele..ā€

Itu yang saya suka dari Psikodiagnostika, berani memusnahkan budaya Indonesia, budaya ngaret šŸ˜€

Praktikum Psikodiagnostika I itu katanya paling melelahkan. Selain memang praktikum pertama, praktikumĀ  semester ini juga memakan waktu yang cukup lama. Sekali seminggu, dengan waktu minimal 4 jam satu kali praktikum. Ditambah praktikum hari Minggu dengan waktu minimal 5 jam. Dan rasanya itu WOWWā€¦.

 

Mengusir Sociophobia

Itu soal waktu, belum soal OP, Objek Praktikum, atau pihak lab bilang sekarang istilahnya harus dirubah jadi SP, Subjek Praktikum. Selama praktikum kita membutuhkan 11 OP per mahasiswa. Bayangkan saja angkatan 2011 itu ada sekitar 120 orang, ya tinggal dihitung saja 120 x 11, jadi berapa orang yang kita butuhkan selama praktikum? 1320 orang yang berbeda, dari berbagai gender, kampus, kota, pendidikan. Bahkan di klasikal I saya bertemu kakak kelas dan adik kelas saya waktu Aliyah di Garut, yang sengaja datang dari Garut ke Bandung hanya untuk jadi OP saudaranya, yang ternyata kuliah di Psikologi juga.

Dan mengumpulkan 1320 orang hanya untuk Ā jadi OPĀ  tes Psikologi itu gak gampang, kakakā€¦

Iyalah ya, sulit banget nemu orang yang rela duduk 5 jam hanya untuk mengerjakan soal-soal psikotes. Sulit banget nemuin orang yang bisa datang tepat waktu (tepat waktu menurut waktu Psikodiagnostika). Makanya jangan heran ketika praktek jam 12.30 kita selalu bilang praktek mulai jam 11.00. Dan paling was-was ketika mendapat jadwal praktek jam 07.30. dan Alhamdulillah ya, OP saya sudah pada datang jam 07.00 J.

Iya, OP itu setengah nilai kita, 50% nilai praktikum ada di kehadiran OP. Makanya jangan heran juga, kalau kita super perhatian sama yang namanya OP. di sms tiap hari, di telpon tiap waktu, disuruh makan biar gak sakit (Iya lah kalau OP sakit kita juga yang susah -_-), disuruh bawa payung pas musim hujan biar gak demam karena kehujanan. Lebay ya? Memang , kita aja yang terlalu parno OP-nya gak datang šŸ˜€

Di Praktikum semester ini saya diajarkan untuk mengenal banyak orang. Mengenal temannya teman saya, teman saudara saya, mengenal orang yang duduk di selasar masjid atau menyapa orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang.

Iya, itu yang saya lakukan selama mencari OP. Berkeliling kampus dari pulang kuliah sampai Maghrib, dari gerbang sampai asrama putri yang terletakĀ  di belakang kampus.Ā  Penolakan, tentu sajaĀ  90% menolak untuk jadi OP, hahaā€¦.

Dan Aha! Ternyata ada yang lebih berharga daripada sekedar menemukan OP. Apa? Mengalahkan ketakutan. Dulu, mungkin sampai sekarangĀ  saya dikenal sebagai orang yang susah bergaul. Dan ternyata mengenal banyak orang itu nyenengin yah J, dan ternyata menyapa orang itu gak susah yah. Ah, ini dia ternyata kembali lagi pada jalan Tuhan. Tuhan, mengusir makhluk aneh dalam diri saya bukan dengan jejalan Teori barat melainkan pada proses yang sedang saya jalani, tuh kan skenario terapi ā€œPsikologā€ pribaadi saya memang sangat keren J.

Menyambung Silaturrahmi

Karena butuh OP, saya menghubungi teman saya yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu, dan berkat butuh OP saya bertemu dengan teman saya dari Tsanawiyyah yang sudah tidak bertemu sejak saya keluar Aliyyah. Ā Bahkan di klasikal 2, saya ā€œdipaksaā€ menghubungi 30 nomor yang saya tidak kenal hanya untuk mencari OP J.Ā  Terima kasih yang telah memberikan 30 nomor tersebut, terima kasih telah menyuruh saya untukĀ  bersilaturahmi pada 30 orang dan akhirnya 3 dari 30 nomor tersebut ada yang bersedia jadi OP J.

Terimakasih untuk alumni PPI 76, PPI 96 dan PPI 110 yang sudah menjadi OP saya. Terimakasih Mahasiswa UPI, Uninus, UIN, Poltek Piksi Ganesha, UNISBA, Maā€™had Al-Imarat, STAIPI Garut. Terima kasih telah bersedia membantu selama satu bulan ini, dari mulai praktikum klasikal 1, Individual dan klasikal 2 .

Terimakasih, Psikodiagnostika

Semester 3 tinggal 2 pertemuan lagi, dan itā€™s time to say ā€œterima kasih, Psikodiagnostika Jā€. Terima kasih sudah mengajarkan bahwa waktu itu adalah kepercayaan, terima kasih sudah ā€œmemaksaā€ saya berani berbicara di depan, terima kasih sudah ā€œmemaksaā€ saya untuk berani menyapa orang di jalan, terima kasih telah mempertemukan saya dengan teman-teman saya, dan terima kasih telah menemani saya melawan ketakutan J.

Dear Snmptn, Dear My friends

Kemarin malam, tepatnya jam 7. Pada jam itu, pengumuman kelulusan Snmptn dibuka.

Seperti tahun kemarin, tahun ini saya meminta nomor Snmptn kawan-kawan saya. Tujuannya biar saya bisa bantu mengecek hasilnya.

Jam 19:15 saya mulai membuka-buka website Snmptn, dan seperti yang saya duga website sibuk, susah untuk dibuka.

Saya mulai mencari alternatif. Saya menemukan website yang memuat nama-nama peserta yang lulus. Saya ketik satu per satu nama-nama teman saya.

Dan, saya sempat bingung. Saya telah mengetik 4 nama, tidak ada satu pun yang lolos. Saya mengira ini kesalahan website, maklum banyak yang mengakses, sistem sedang error pikir saya. Hingga pada nama ke-5 yang saya ketik tertulis kalimat “selamat kamu lolos!”.

Saya senang bukan kepalang. Saya langsung mengirim sms pada teman saya itu, dia tidak membalas. Ah, dia sedang tenggelam dalam euforia Snmptn saya pikir.

Sms dari teman saya yang lain masuk, “Mi, aku gak lolos”. Saya buka Fesbuk, di Fesbuk saya mendapat kabar teman saya yang ke-3 juga tidak lolos.

Pagi, saya mendapat kabar 2 teman lain pun tidak lulus. Intinya, hanya satu teman saya yang lulus Snmptn tahun ini.

Sebenarnya dari 5 orang kawan saya ini, 2 orang sudah kuliah, mungkin mereka hanya menguji peruntungan saja di Snmptn, hanya 3 orang yang belum mencicipi bangku kuliah. 2 orang teman seangkatan, dan 1 lagi adik kelas.

2 kawan yang sudah kuliah, ikutan Snmptn lagi karena berbagai hal. Yang satu, karena ingin pindah jurusan dan yang satu karena ingin masuk PTN, karena sekarang dia sedang kuliah di PTS di Garut.

2 kawan lagi, memang baru ada kesempatan kuliah tahun ini karena berbagai hal.

Satu lagi adik kelas saya ikut SNMPTN hanya untuk memenuhi rasa penasaran saja. Sebetulnya, dia sudah diterima di Universitas yang sama dimana saya kuliah sekarang.

Melihat ucapan “selamat” terpampang di layar handphone, tentu saja saya merasa senang. Apalagi setelah mengingat perjuangan mereka.

2 kawan saya itu, dua hari sebelum Snmptn, sore itu datang ke kostan saya. Mereka diantar kawan Aliyah saya yang juga kuliah disini.

Pagi itu, hari Senin mereka akan survey ke lokasi tes Snmptn. Karena saya UAS, saya tidak bisa mengantar mereka. Saya hanya memberi tahu jalur-jalur angkutan umum yang harus mereka naiki. Kebetulan lokasi mereka Snmptn tidak jauh dari kampus saya, satu kawan saya berlokasi di SMP di daerah Ciwastra. Dan satu lagi di SMKN 9 Bandung, beberapa ratus meter dari kampus (sementara) saya.

Malam hari, mereka menghafal terus-terusan. Kostan saya dipenuhi buku-buku pelajaran SMA. Selama SNMPTN 2 hari itu, saya melihat kalau mereka bersungguh-sungguh.

Saya sempat bercanda “hei, kalian harus lulus ya. Masa udah dikasih tempat menginap gratis, eh kalian gak lulus”. Sampai hari Rabu sore mereka pulang ke Garut, mereka masih bilang “Mi, doakeun nya…”. Saya menjawab dengan bercanda “iya sok, pasti lulus yang pas Snmptn nginep disini mah!”.

Sampai malam kemarin, ternyata yang lulus hanya satu dari 2 gadis pecicilan itu.

Yang satu menangis, yang satu tersenyum. Never mind kawan, inilah hidup. šŸ™‚

Kawan saya tersenyum, tentu saya ikut tersenyum. Kawan saya menangis, tapi maaf saja saya tidak akan ikut menangis. Lalu, apa yang harus ditangisi?
SNMPTN bukan segalanya.

Seperti yang saya bilang pada postingan sebelumnya. belajar dimana pun sama saja, kita yang menjadikannya berbeda.

Percaya saya kawan, PTN itu tidak se-‘wah’ seperti apa yang kalian dengan. PTN itu cuma menang gengsi doang. Ilmu itu dimana-mana sama saja. Sami bageur….

Semangat ya :-).

“Sudahlah lupakan segala yang membuatmu merana, hanya kan membuat dirimu dihantui gelisah. Biarkanlah semua kan berlalu dengan apa adanya. Karena dibalik yang terjadi pasti ada hikmahnya…” (Hikmah ~ Tashiru)

Especially for:
Halimah Syaidah ~ congrats mahasiswa UPI, akhirnya nyusul juga ke Bandung.

Fitri Nuraisyah ~ gak apa-apa gak jadi mahasiswa Jatinangor juga, kan udah jadi mahasiswa Cibiru. Tenang, Cibiru – Jatinangor tetanggaan kok :D.

Ulfah Rufaidah ~ Gak apa-apa. Tenang, PTN bukan segalanya.

Winni Nurul Illahi ~ Winni, kuliah di Garut atau Bandung sama aja kok, percaya saya! šŸ™‚

Shidiq Amin ~ Hei kamu mau kemana? Udah disini saja, di Cibiru aja. Ngapain mau pindah ke kampus pendidikan itu. Sama saja :-).

Garut, 7 Juli 2012
Nowplaying Tashiru ~ Hikmah.

Ah, Lempong 2

Jangan bayangkan mereka yang masuk Universitas ini adalah mereka yang rumahnya berada di pinggir jalan raya. Mereka anak desa kawan, yang selama sekolah 6 tahun berjalan kaki, mungkin memang lelah, hanya saja mereka tidak mengeluh. Saya pernah menyebut mereka laskar pelangi millenium, anak-anak yang harus berjalan kaki kiloan meter, hanya untuk sekolah.

Ini, yang menyebabkan saya malu mengeluh ketika memasuki awal perkuliahan di Bandung. Biasanya saya di Garut, pergi sekolah naik angkutan umum, 5 menit pun sampai di sekolah. Lalu di Bandung, saya harus menempuh jarak kostan – kampus sekitar 45 menit. Pernah mengeluh, tapi akhirnya malu. Setidaknya 45 menit saya habiskan di Damri bukan dengan berjalan kaki.

Iya, Lempong. Pada akhirnya sekolah sederhana ini, bisa melahirkan anak-anak yang keren. Bahkan teman saya, dia orang Corenda sekarang dia di jurusan Sastra Arab. Semester kemarin dia dapat Beasiswa prestasi karena mendapat IP terbaik di kelas. Orang Corenda berkahnya banyak :D.

Iya, Lempong. Sekolah yang kekurangan kelas ini, yang menyebabkan saya harus mengalami belajar di Aula selama satu tahun. Pada akhirnya, bisa mendidik anak-anaknya menjadi tangguh. Laskar pelangi millenium!

SNMPTN
Iya, kebanggaan tersendiri ketika teman saya berhasil masuk PTN lewar jalur ini, bayangkan saja hanya 19,9% yang diterima di PTN dari seluruh peserta SNMPTN.

Setelah tahun kemarin hanya satu teman saya yang lolos SNMPTN, tahun ini salah satu teman saya ada yang lolos SNMPTN lagi.

Hal yang wajar. Jika murid dari sekolah memadai, guru memadai, dan fasilitas memadai lolos SNMPTN. Tapi, bagi kami anak desa yang berasal dari sekolah kecil lolos SNMPTN adalah hal ‘wah’.

UPI, lagi-lagi baru sebatas UPI yang bisa ditembus kawan-kawan saya. Iya, belasan tahun berdiri, Alumni sekolah ini baru bisa menembus UPI.

Ntah kapan, UNPAD, UI, ITB, UGM bisa ditembus kawan-kawan saya. Ntah sepuluh tahun lagi, 5 tahun lagi, 2 tahun lagi, atau bahkan tahun depan. Ntahlah…

Ekonomi bukan menjadi faktor keterbatasan menurut saya.

Di kampus, saya mempunyai teman dia pernah cerita “Saya kuliah, saya daftar, saya mengurus semua sendiri. Orang tua tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu saya kuliah, yang mereka tahu saya kerja di Bandung”, keren kan teman saya.

Ya, walaupun sekarang orang tua dia sudah tahu. Tapi kan gak kebayang, mengurus kuliah sendiri tanpa diketahui keluarga. Two thumbs up, keren…

Cerita di atas, hanya untuk memotivasi saja. Jangan jadikan keterbatasan menjadikan hidup kita terbatas lah. Itu kuno, coba lah kreatif sedikit :-).

Kembali lagi pada SNMPTN, teman-teman saya yang lain ada yang tidak lulus.

Tahukah anda? Dulu, 4 tahun lalu ketika saya mendaftar di SMA Negeri dan saya tidak lulus, apa yang terjadi dengan saya? Saya nangis seminggu. Bagaimana tidak, dalam sejarah keluarga saya, ntah sepupu, saudara jauh atau lainnya, mereka semua lolos masuk SMA Negeri. Lalu saya kenapa tidak masuk? Apakah karena saya alumni sekolah Tsanawiyah kecil?

Sakit hati, tentu saja. Merasa terdiskriminasi, tentu saja. Jujur, waktu itu saya benci sekolah di Lempong. Meronta, kenapa saya gak bisa masuk SMA Negeri, kenapa saya gak bisa belajar di sekolah yang punya fasilitas memadai.

Sampai akhirnya, kawan saya cerita “Mi, tahu gak sekolah dimana-mana sama saja. Asal bagaimana kitanya aja” kalimat sederhana, tapi efeknya?
Lihatlah saya sekarang, saya baik-baik saja kok. Saya bakalan bisa kok jadi Psikolog walaupun alumni sekolah bernama Persis Lempong šŸ™‚ (amin!).

Asal kau tahu saja kawan, PTN Memang terdengar ‘wah’, tapi mengejar cita-cita itu bisa di mana saja.

Kau tahu kawan, Lempong memang biasa saja, tapi prestasi kita yang akan menjadikan Ia luar biasa. :-).

Semangat kawan…!

Sambut hari baru di depanmu
Sang pemimpi siap tuk melangkah
Raih tanganku jika kau ragu
Bila terjatuh ku ā€˜kan menjaga

Kita telah berjanji bersama
Taklukan dunia ini Menghadapi segala tantangan
Bersama.. (mengejar mimpi-mimpi)
Berteriaklah hai sang pemimpi
Kita tak ā€˜kan berhenti disini…

Di Bukit menuju Corenda

Hei, Mr. Stalker

Stalker, penguntit, secret admirer, pembenci ulung. Ah, sama saja…

Kata teman saya ada dua hal yang menjadikan seseorang menjadi stalker. Pertama, ‘stalking’ pada orang yang amat dia suka, lalu kemungkinan kedua ‘stalking’ pada orang yang amat dia benci. So, kalau nanti ada yang sembunyi-sembunyi ‘stalking’ di belakang kamu, ya kamu jangan GR dulu, bisa saja dia emang suka kamu, atau dia malah benci kamu :D.

Saya tahu istilah Stalker dari teman saya. Di kampus, waktu itu kita maen ‘truth or dare’, di akhir permainan dia mendekat pada saya, lalu berbicara pelan, maksudnya biar anak-anak lain gak ada yang dengar,
“Mi, aku juga tau kok sebenarnya kamu stalker kan? Kamu udah sejauh mana tahu tentang aku?”
Mati, saya hampir mati. Saya menatap dia tanpa ekspresi, lalu beberapa detik kemudian saya cuma tersenyum tanpa dosa :-).

“Aku artis ya, sampai kamu stalking di belakang aku..” dia berucap sambil berlalu begitu saja. Dan saya cuma bisa menatap dan masih tidak percaya, saya ketahuan jadi stalker.

Bukan apa-apa, masalahnya saya bersikap biasa saja di depan dia, berbincang seperlunya saja, dan berlaku tidak aneh depan dia.

Iya, dia teman saya yang satu itu emang misterius. Awal, kuliah orangnya emang dingin banget, gak pernah senyum dan gak akrab sama teman di kelas.

Lewat google, saya cari tahu tentang dia. Ketemu akun twitternya, akun Fesbuknya, blog, dan beberapa data akademis dia. Ok, dan setelah saya cukup tahu tentang asal usul dia, saya berhenti googling, dan mulai mengerti tentang sikap dia.

Iya, saya cuma suka stalking pada orang-orang tertentu saja. Pada orang yang misterius saja. Dan info yang saya dapat untuk saya saja.

Tapi, ya itu masalahnya. Saya gak pernah cerita sama siapa pun, tentang dia yang saya tahu dari google. Apa benar ya nonton serial amerika ‘Lie to Me’ bisa mempertajam intuisi kita dalam mengenal ‘sesuatu yang tersembunyi’ lewat ekspresi wajah seseorang? Masalahnya teman saya itu suka banget nonton Lie to Me ntahlah…

Jika, kalian pikir untuk tahu siapa yang jadi stalker, harus belajar psikologi atau nonton Lie to Me terus-terusan. Kalian salah…

Teknologi. Iya, teknologi sederhana saja. Jangan teknologi canggih yang digunakan CIA atau FBI, internet juga cukup kok!

Saya sadar teknologi yang sederhana pun sekarang makin canggih. Saya saja yang awam bisa tahu mana yang stalker mana yang bukan.
Ya, jika kebiasaan saya ‘stalking’ di belakang orang-orang pada akhirnya ketahuan, ya lalu apa? Saya pandai menjaga rahasia kok, tenang saja, saya tidak pernah membocorkan apapun walaupun saya stalker šŸ˜€

Hei, Mr. Stalker…

Tadi pagi iseng buka-buka statistik wordpress, masih sedikit sih, masih 470-an pengunjung. Statistiknya gak jauh beda sama blogger. Ada track kata kunci, track web referensi, top post, top klik, dan la la la sebagainya.

Gak heran di top referensi yang nongkrong Twitter dan Fesbuk karena media sharing saya emang 2 jejaring tersebut. Lalu di urutan selanjutnya ada klik dari blog-blog followers saya.

Dan taraaa, apa nih? Ada IP address yang sama yang gak saya kenal ngeklik sering banget.
Bersyukurlah kamu hei Mr. Stalker karena saya gak ngerti cara ngelacak lebih jauh tentang IP Address.

Ya, saya sih ngerasa senang aja. Ada orang, dibalik komputer yang sama, yang setia baca postingan-postingan gak jelas saya, sengaja buka timeline twitter buat ngecek apakah saya sudah share postingan terbaru di blog atau belum.

Hei, kamu Mr. Stalker. Siapa pun kamu, orang yang sama dibalik komputer yang sama. Makasih ya sudah rajin berkunjung, sudah rajin baca, sudah rajin menjenguk.

Untukmu Mr. Stalker. Orang yang sama dibalik komputer yang sama, tetaplah disana di balik komputermu. Tetaplah kembali kesini, ke blog ini. Selamat Malam ^_^

Garut, 22 Juni 2012

Senja di Manisi

Bandung, 1 Juni 2012

“Mi, mau pindah!”, ntah itu kalimat ke berapa puluh kali yang dia ucapkan. Saya mendengarnya biasa saja, ah, paling hanya sebatas wacana saja. Hanya ego sesaat saja.

Rabu, 30 Mei.
Hari itu sepupu dari Garut datang, menginap di kostan untuk persiapan wawancara PPA di UIN. Maghrib, ternyata dia teman sekamar saya datang. Saya kira dia gak akan ke Bandung, karena minggu ini memang minggu tenang untuk jurusan Sastra Inggris.

Belum sempat duduk pun, dia langsung berkata “Mi, jadi ah pindah!”, saya menjawab “Yakin?!”.
“Ya yakin aja” dia bilang. Saya nanya “memang mau pindah ke mana?”. Dia jawab “mau pindah ke Garut..”. Dan di sana saya langsung terdiam tanpa kata.

Kalaupun kepindahan dia benar terjadi, yang saya yakini hanya pindah jurusan saja. Tapi, ternyata bukan. Yang dimaksud dia dengan pindah, adalah pindah jurusan, pindah perguruan tinggi dan pindah kota alias pulang kampung, ke kota kelahiran kami, Garut.

Malam itu, saya tenang-tenang saja. Menganggap perbincangan Maghrib tadi hanya sebatas wacana belaka.

Sampai pagi, ketika saya bersiap mengantar sepupu berangkat tes wawancara di UIN, teman saya itu bilang “Mi, ikutlah maen ke kampus” saya iya kan saja kemauan dia. Toh dia yang tahu seluk beluk UIN, jadi bisa sekalian mencari tempat untuk tes wawancara.

Sampai di UIN, dugaan saya tepat. Saya kebingungan mencari tempat wawancara. Niat mau ngebantu sepupu, malah saya sendiri yang kebingungan. Saya kira semua akan dilakukan di gedung aula seperti tahun kemarin, dan ternyata tahun sekarang Tes wawancara PPA dilakukan di gedung Z, tempat fakultas Adab & Sastra dan Fakultas Komunikasi & Dakwah.

Dan tahukah anda bagaimana jalan menuju Gedung Z?
Menanjak, berkelok, melewati kubangan air, sekerumunan rumput liar. Dan ntahlah saya merasa ini bukan ‘kampus’ saya, saya merasa asing dengan kampus sendiri.

Akhir cerita, sekitar jam 10 sepupu saya selesai tes wawancara. Saya, sepupu dan teman saya pulang ke kostan. Dia, teman saya itu bilang “duluan ya, aku mau beres-beres pakaian dulu”. Dalam hati saya berkata “jadi, beneran nih dia mau pindah?”.

Sampai kostan, dan ternyata benar. Dia sedang beres-beres. Sekitar jam 11 siang. Teman saya dan sepupu pulang ke Garut berdua, saya mengantar mereka sampai depan kostan. Mereka pulang dan saya pun sendirian -_-.

Jam 12, saya berangkat kuliah. Jam 3 sore, saya pulang, dan mendapati kamar masih terkunci. Biasanya, jam segitu di kamar sudah ada teman saya. Dan sekarang saya sadar tidak ada dia.

Memiliki itu Setelah Kehilangan
Iya, dari September lalu kami sekamar. Saya kira berbicara dengan dia setiap malam adalah hal biasa, nonton film bareng di laptop adalah hal biasa, menyetrika gantian adalah hal biasa, makan bareng adalah hal biasa, ke warnet bareng, saling bantu ngerjain tugas adalah hal biasa.
Tapi, malam ini ketika saya sendiri, kenapa semua tampak luar biasa?

Yaaa, merasa kehilangan aja sih. Kehilangan teman seperjuangan, kehilangan teman yang dulu, tes PPA bareng, daftar ulang berdua, cari kostan berdua, belanja ke Ujung Berung berdua, cari Stt Mandala berdua, bolak-balik Bandung – Garut ngurus administrasi kuliah berdua. Semua dilakukan berdua tanpa melibatkan orang tua, mulai ngerasa mandiri.

Yaaa, walaupun beda jurusan. Beda lokasi kuliah, beda teman di kelas dan cuma beberapa jam ketemu di kostan, tapi ya tetap aja merasa kehilangan :(.

Senja itu di Manisi.
Hari pertama kita jadi anak kost, beberapa jam sebelum OPAK. Semua dilakukan berdua, mulai dari beres-beres kostan, ngobrol sama ibu kost, cari makan berdua, sampai cari hal-hal sepele buat OPAK.

Senja itu di Manisi. Pulang OPAK, Memakai baju hitam putih, membawa bendera Opak berwarna biru. Mulai hari itu kita menyebut diri kita berdua mahasiswa.

Senja itu di Manisi.
Menyusuri jalanan Manisi sampai Bunderan, hanya untuk melepas kepenatan dari sebuah ruangan 3 x 3 meter yang kita sebut dengan kostan.

Senja itu di Manisi.
Akankah ada seperti itu lagi, seperti senja itu di Manisi?

Opak Oh Opak… (Balada MaBa)

Ini cerita tentang Opak beberapa hari yang lalu. Tanggal 7 September 2011 untuk pertama kali setelah saya hidup 18 tahun di planet biru, saya memberanikan diri untuk pergi ke Bandung sendirian. Jam dua siang saya tiba tepat di depan kampus UIN Sunan Gunung Djati, 10 menit kemudian datang teman saya yang memang sudah berada di Bandung sejak pagi. Dan kisah tentang OPAK pun dimulai..

Pertama yang jadi pusat perhatian kami adalah dimana kami bisa membuat bendera wajib OPAK, hasil print out dari blog resmi OPAK. Alhasil teman saya mempunyai teman yang berbaik hati untuk memberi kami bendera OPAK tersebut. Jam 14.45 kami bertemu di Mesjid di pinggir UIN ntah mesjid apa itu namanya saya lupa. Dan saya terheran-heran kenapa peralatan untuk membuat bendera OPAK Sudah lengkap dan rapi, padahal untuk membuat batang dari bambu di kota seperti Bandung kan susah. Dan teman dari teman saya itu berkata kalau bendera OPAK tersebut sudah tersedia di tempat fotocopi-an kami hanya membayar Rp. 1.500 batang bambu 500 dan kertas Print out logo OPAK 2 lembar Rp. 1.000, haha saya hanya tertawa mendengarnya kreatif banget itu tukang fotocopy bayangkan saja jika satu mahasiswa baru mengeluarkan uang 1.500 untuk satu bendera, berapa banyak keuntungan yang didapat jika yang membeli bendera ada sekitar 3500-an Mahasiswa baru?! Angka yang lumayan fantastis šŸ˜€

Setelah bendera kami dapatkan (dengan gratis), kami menuju kost-an yang telah kami booking bulan Juli lalu. Sampai di kost, ibu kost bilang kalau bapak kost sedang tidak di tempat. Kami pun hanya menitipkan barang disana yang memang barang yang kami bawa sedikit hanya baju putih yang sebenarnya seragam Mu’allimien dan rok hitam saja. Setelah menitipkan barang kamipun pergi ke daerah Ujung Berung hanya untuk membeli alas tidur saja. Setelah selesai belanja, menjelang magrib kamipun kembali ke tempat kost. Dan ternyata bapak kost belum pulang dari perjalanan. Di rumah ibu kost, ibu menawari kami makan, kami menolak walaupun saat itu kami sangat lapar kami berdalih sudah makan dan memang kami sudah makan hanya saja yang kami makan hanya gorengan (watir).
Adzan Maghrib tiba kami diijinkan untuk solat di salah satu ruangan, selesai solat kamipun berbincang-bincang dengan ibu kost sampai menjelang Isya akhirnya bapak kost datang, setelah bapak kost istirahat sejenak dia berkata bahwa kamar yang telah kami booking, kuncinya masih ada di pemilik sebelumnya. Dan bapak kost menyarankan untuk tinggal di kamar kosong lain saja untuk sementara. Tapi kemalangan kami belum sampai situ ternyata kamar kosong lainpun mendadak susah untuk dibuka, setengah jam bapak kost berusaha membuka kamar tersebut tapi sia-sia. Akhirnya sekitar jam 8 malam bapak kost meminta anak kost orang Majalengka untuk sementara `menampung` kami hanya untuk tidur malam ini saja. Alhamdulillah mereka Mahasiswa Baru juga, dua orang Majalengka itu satu jurusan di Sains Fisika.
Alhamdulillah mereka baik dan bisa menerima kami.

Subuh, 8 September 2011 Jam 4.00 pagi semua penghuni kost yang memang mayoritas MaBa sudah antri untuk bergegas mandi. Jam 05.00 saya beres Mandi dan Sholat, mengenakan rok hitam dan baju putih seragam mu’allimien. Memang panitia tidak mensyaratkan peserta untuk memakai pakaian yang benar-benar kemeja, hanya saja harus pakaian putih yang Rapi dan sopan.
Jam setengah enam satu per satu meninggalkan kost-an. Sepanjang jalan terlihat beberapa gerombolan MaBa berbaju hitam putih dan membawa bendera OPAK berwarna biru. Jam 05.55 saya dan ratusan MaBa lainnya tiba di kampus tentunya kami tidak lewat gerbang depan karena memang untuk jalan ke Gerbang depan lumayan jauh kami harus berjalan menuju bunderan Cibiru lalu berjalan lagi sampai gerbang kampus.

Akhirnya kamipun memilih untuk pergi ke kampus melewati rumah-rumah warga hingga sampai di “jalan tikus” jalan yang tepat ada di belakang lapangan sepakbola UIN. Di Lapangan saya melihat Tenda Merah Putih yang lumayan megah telah berdiri kokoh di kelilingi oleh stand-stand UKM dan beberapa stand jurusan. Dan dalam hati saya bilang “Perjuangan segera dimulai”

to be continue

Ketika Kritikan Jadi Kenyataan

Masih inget gak waktu aku suka protes dari dulu dari kelas satu tsanawiyah sampe kelas satu mu’allimien tentang guru-guru yang jarang hadir, murid yang gak disiplin dan pelajaran yang kebanyakan.

Inget gak waktu dulu aku ngomong gitu gak ada yang dengerin (emosi), waktu aku nulis di blog gak ada yang nanggapin (tambah emosi).

Nah sekarang terbukti siapa yang bener (merasa menang)
saur abi ge naon?

Dari dulu aku ngomong tentang pelajaran yang kebanyakan malah gak ada yang respon.
Dan sekarang apa yang terjadi Kelas tiga pada gak lulus baca kitab baru guru-guru “rariweuh”.
Nya saur abi ge naon?
Seueur teuing. . . Seueur teuing pelajaran teh!
Jadi we ilmu gantung (kaditu kadieu teu nepi).

Halah nie emosi kieu….

Sekarang aja guru-guru baru sadar kalo anak-anak pada gak bisa nahwu, kemaren-kemaren kemana aja atuh ibu… Bapak!!!

Sekarang aja jadi wacana kalo pelajaran disini overload “alias kebanyakan” tahun kemaren pada kemana ya?

Sekarang aja baru sadar kalau Hal-hal yang disepelein disini contoh hafalan juz ‘ama, sholat berjama’ah sama cara adzan ternyata jadi hal yang sangat besar waktu PLKJ.
Salahin murid we padahal enam tahun di Lempong pernah gak misal pas kelas 1 tsanawiyah anak-anak dipaksa buat praktek adzan? Iya memang sudah belajar di Bulughul Maram atau Bukhori tapi prakteknya pernah gak??

Tentang solat berjama’ah yang pas PLKJ Jadi masalah pernah gak di sekolah wajib solat berjama’ah kalau ada yang bilang “heug sing bageur sorangan”. Iya tapi gak semua murid bageur “bukankah bisa karena terbiasa, dan terbiasa awalnya dipaksa”
Saur abi ge naon?

Da Guru-Guru disini mah nganggapnya hal-hal kaya gitu sudah dikuasai sama murid disini. Lah iya kalo orang Corenda atau orang pedalaman gitu. Coba orang Leuweung Tiis kumaha tah? (ngaku geuning teu bisa nanaon ^_^)

Disini mah cuma liat orang-orang yang pinter yang nahwunya di raport dapat 8 gak pernah diliat orang yang nahwunya di raport dapat 5 mah (saha tah?)

Aduh jadi emosi gini!!
Dah lama juga ya aku gak ngomongin sekolah di blog (gara-gara guru ngungkit qira’atul kutub kelas 3 sih jadi we membuka kembali emosi lama)

Kenapa ya aku dari dulu ngomong gak ada yang dengerin?! (ni cape hate)

Padahal mah aku ngomong “ustadz kurangilah pelajaran” itu teh serius gak maen-maen. Napa atuh gak ada yang denger? Da kalo dari dulu denger mah sekarang gak bakal kaya gini..

Nya saur abi ge naon?

Sekarang pas aku tinggal setahun disini baru aja ada wacana kalau pelajaran bakal di ringkas,
baru aja ada wacana kalo Hal-hal sepele adalah ternyata hal besar…

Euuuuuuh kamana wae atuh dari dulu??

[#EDIT; Original Posted 04 Mei 2010]

Ada Apa Dengan Cinta?

Lelaki datang atas
nama cinta…

Lalu dia pergi
karena cinta..

Pergi digenangi air
racun jingga..

wajahmu Seperti bulan..
lelap tidur di hatimu yang
berdinding kelam dan
kedinginan

Ada apa
dengannya
Meninggalkan
hati untuk dicaci

Lalu sekali
ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa

Ada apa dengan cinta..

Tapi aku pasti akan
kembali

dalam satu
purnama untuk
mempertanyakan kembali
cintanya..

Bukan untuknya,
bukan untuk siapa Tapi untukku..

Karena aku ingin kamu…
Itu saja…