Mendaki Gunung Gede – Part 2


Mendaki Gunung Gede – Part 1

Nah di perjalanan menuju Kandang Batu kita menemukan petunjuk “Hati-hati jalan licin” Saya bilang ke Ridha “Mati dha, kita harus ngapain nih?”. Nah ternyata di jalur pendakian ini kita akan menemui air terjun panas, nah kita harus melewati air terjun itu, di sisi kiri merupakan air terjun di sisi kanan merupakan jurang yang kedalamannya tidak diketahui, konon katanya beberapa tahun lalu ada mahasiswa yang tewas di sana dan jasadnya tidak ditemukan. Untungnya ternyata di sana ada Jia yang nungguin kita, air terjun ini panjangnya Cuma kira-kira 15 meter. Tapi tetep aja lah ya namanya juga melewati jurang 15 meter serasa ratusan meter. Oiya, bagi yang berkaca-mata apa lagi kacamatanya bukan anti-emi sebaiknya kacamatanya dilepas saja karena pandangan akan lebih baik kalau tidak pakai kaca mata, uap air panas akan mengembun dan mengganggu jarak penglihatan. Kalau yang pakai sandal hati-hati airnya lumayan panas, saya juga yang pakai kaos kaki double terus pakai sepatu panasnya masih terasa.

DSC05888

Setelah melewati air panas, kita bisa berdiam di pos yang ada di sini sekedar untuk merendam kaki di air hangat. Setelah air panas track yang kita lalui masih tangga-tangga batu dengan bonus beberapa puluh meter jalanan datar. 20 menit dari air panas kita sampai di pos Kandang Batu, sekitar setengah satu. Di sini tim saya shalat dulu, jama’ dzuhur dan ashar. Kandang Batu ini letaknya cukup dekat dengan aliran air, kita tidak mengisi persediaan air di sini, setelah makan, shalat, istirahat dan cek ricek persediaan logistik kita berangkat menuju Kandang Badak. Jarak dari Kandang Batu sampai pos Kandang Badak membutuhkan waktu kira-kira satu jam.

Estimasi sampai Kandang Badak jam 2, ternyata saya sampai jam 3. Track dari Kandang Batu sampai Kandang Badak merupakan jalan yang tersusun seperti tangga , jalannya lumayan tidak berbatu juga tidak terjal tidak seperti track sepanjang Panyangcangan – Kandang Batu tracknya batu semua lumayan membuat telapak kaki sakit. Kandang Badak merupakan pos terakhir banyak pendaki yang berkemah di sini, biasanya yang berkemah di sini merupakan pendaki yang akan muncak ke Gede juga Pangrango. Di sini kita istirahat, muka saya mulai pucat anak-anak mulai nanya “Mi, masih kuat? Itu muka pucet banget” Tapi Herdi bilang jarak ke puncak tinggal 2 jam lagi. Saya mikir, perjalanan selama 9 jam aja bisa, 2 jam lagi masa gak bisa. Saya berbaring jari-jari saya mulai putih, kukunya mulai pucat rasanya pusing banget, kata Herdi saya kurang darah karena selama pendakian aliran darah tidak sampai ke atas makanya rasanya pusing banget. Setelah anak-anak mengisi persediaan air kita melanjutkan perjalanan di sini ada petunjuk arah puncak Gede atau Pangrango. Kita mendaki lurus, karena tujuan kita memang puncak Gede. Estimasi saya sampai puncak jam 5 sore, karena saya sudah capek banget akhirnya saya berjalan pelan.

Selama perjalanan Kandang Badak – Puncak saya ditemani Fithri, sering banget saya istirahat karena mendekati puncak jalanan semakin terjal. Pertamanya saya senang karena track yang dilewati Cuma tanah-tanah landai, sampai akhirnya taraaaa ada tanjakan setan. Di sini ada 2 jalur ada jalan alternatif, ada tanjakan setan. Jalur alternatif merupakan jalan menanjak dengan kemiringan kira-kira 50 derajat. Hati-hati di jalan alternatif ini banyak batu-batu kecil yang membuat kaki tidak menapak sempurna ketika mendaki. Nah kalau tanjakan setan adalah tebing batu tingginya sekitar 7 meter. Posisinya benar-benar 90 derajat. Ketika mendaki saya dan Fithri melewati tanjakan setan sedangkan anak-anak yang di depan lewat jalan alternatif. Mana saya tahu ada jalan alternatif, saya tahunya pas turun. Untuk melewati tanjakan  Setan ada tali untuk mebantu kita naik. Bagi yang mau mencoba wall-climbing alami tanpa pengaman boleh mencoba jalur ini, dan rasakan sensasinya :D. Pesan saya kalau  lewat tanjakan Setan jangan lihat di bawah, jangan. Saya naik tanjakan Setan dibantu pendaki lain. Tenang saja di gunung itu banyak Aa baik hati kok :D. #Modus

Setelah naik Tanjakan Setan lalu berdirilah di atass tebing dan aaaaa Puncak Pangrango terlihat jelas dong, langitnya biru, kita bisa melihat hutan yang selama perjalanan kita lewati. Rasanya damai banget, meresapi belaian angin yang menjadi dingin :D. Sepuluh menit setelah saya istirahat, saya melanjutkan perjalan. Saya sama Fithri sudah tertinggal jauh dari kelompok. Dan dari sinilah kita mulai benar-benar mendaki.

DSC_0794

Mau tahu tracknya seperti apa? Setelah tanjakan Setan kita akan benar-benar seperti Monyet, jika tangga-tangga batu selama perjalan merupakan tangga-tangga biasa yang ketinggiannya Cuma 10 Cm. di sini kita mulai dihadapkan pada tanah licin berpasir, batu kerikil dan akar yang melintang sana-sini. Jalannya menanjak banget, jangan berharap ada bonus tanah datar, karena setelah Kandang Badak jalanan yang dilalui terus menanjak. Ketika mendaki sebaiknya berpegangan pada akar-akar atau dahan-dahan pohon yang kuat. Jangan tergelincir karena di sini sekali lagi saya bilang tidak ada tanah datar. Jika jatuh kemungkinan pertama kamu akan tergelincir sampai bawah, kemungkinan kedua kamu akan jatuh tepat dihadapan batu-batu tajam, atau akar-akar pohon.

Sudah setengah 5 sore, track ini baru  saya lewati 3/4, anak-anak mungkin sudah sampai puncak. Ketika istirahat, saya melihat Herdi turun ke bawah, padahal dia sudah sampai puncak, akhirnya Herdi membawa tas saya, Herdi bilang “Ayo Mi, dikit lagi, lihat sudah makin terang, pohon-pohon sudah semakin pendek artinya puncak semakin dekat. Sabar aja tracknya begini terus sampai puncak”. Beberapa puluh meter sebelum puncak bau belerang mulai tercium saya mual-mual dan galau. Gak pakai masker bau belerang sangat menyengat, kalau pakai masker saya sesak. 20 menit kemudian… dan inilah keindahan Puncak Gede. #Lebay

DSC_0740

Sunset di Puncak Gede

Di Puncak ternyata kaya pasar, banyakkk bnget pendaki yang sudah sampai lebih dulu. Oiya di Puncak juga ada penjual nasi uduk, harganya Rp. 10.000 dengan porsi tidak membuat kenyang he… puncak Gede itu seperti Tangkuban Parahu (Katanya), soalnya terakhir saya ke Tangkuban Parahu pas umur setahun, jadi lupa lagi Tangkuban Parahu gimana heu..

DSC05901

Kawah puncak Gede

Di atas ada kawah yang mengeluarkan uap belerang, angin semakin kencang dan di atas kita melihat sunset, gombal banget kalau saya bilang semua capek terbayar lah wong pegal-pegal mah tetap terasa he.. Kita terus berjalan ke atas, menuju Surya Kancana di sisi kiri merupakan kawah yang dibatasi tali baja, sedangkan di kanan merupakan jurang curam yang tidak dibatasi apapun. Lebar jalan hanya satu setengah meter, jalannya merupakan kerikil berpasir, kalau kamu pernah nonton 5 cm, nah track menuju Surya Kancana seperti track di film 5 cm ketika menuju puncak, jalan pasir berkerikil, tapi tenang saja tracknya cukup landai kok gak seterjal seperti yang ada di film 5 Cm, dari kejauhan jalan menuju Surya Kancana ini seperti jembatan lurus, kering, berdebu.

Dari atas, kita bisa melihat padang Savana, saya pikir ngapain ada orang nge-camp di sana. Eh ternyata padang Savana yang saya lihat dari atas adalah Surya Kancana. Ampun, ternyata perjuangan belum berakhir. Pokoknya nikmati sajalah pemandangan sepanjang kawah di puncak Gede, kapan lagi bisa berjalan di gunung tertinggi ke-3 di Jawa Barat :D. Dari puncak Gede kita turun lagi ke Lembah Surya Kancana. Tracknya merupakan tangga-tangga yang tersusun dari batu kerikil, licin banget karena letak batu tidak stabil. Bagi yang sudah terbiasa atau laki-laki jalan ini Cuma dilewati dengan loncat sana, loncat sini kayak monyet. Sudah jam 6, hari sudah gelap. Sepanjang jalan turun ke Surya Kancana saya ditemani Kiran. Anak-anak yang lain sudah sampai. Penerangan yang kami andalkan Cuma senter dari Hp saya. Udah pengen nangis. Beberapa kali saya terjatuh, menginjak batu yang tidak stabil, lutut saya memar, bahkan ketika saya menulis ini lututnya masih sakit :(.

Setengah tujuh saya sampai dicamp, anak-anak sedang mendirikan tenda, saya tidur di rumput. Eh malah dimarahin anak-anak “Mi, jangan tidur dulu mi bahaya..” Konon katanya kebanyakan pendaki tewas gara-gara tidur dalam keadaan dingin lalu menghirup gas beracun.  Setelah tenda didirikan kita masak seadanya, nasi dicampur mi yang dimasak ala kadarnya, juga energ*n yang diseduh seadanya. Hari makin gelap saya makin ngantuk. Jari saya membeku sampai sakit. Rasanya seperti memegang es batu, ujung-ujung jari sakit, persendian kaku. Mantap kapan lagi bisa merasakan suhu seekstrim itu. Kita tidur di tenda, beralaskan matras, di  dalam sleepingbag, dinginnya masih tidak tertahan.

DSC_0768

Shubuh, alarm dari Hp saya berbunyi tidak ada satupun anak-anak yang bangun. Saya sendiri shalat shubuh jam 5 lebih. Sekitar setengah 6 semua anak-anak sudah bangun. Bang Jay bilang “duh, ini dingin banget ya kay di Antartika” beberapa menit kemudian Bang Jay berkata “Waduh.. Ini kok sepatu bisa beku gini..” Saya pikir dia Cuma bercanda eh ternyata pas saya lihat benar, embun yang terdapat di atas sepatu membeku, saya melihat tenda, saya pegang, ternyata itu bukan embun, di atas tenda kita ternyata es. Kita tidur diantara embun-embun yang membeku. Saya melihat rerumputan. Embun di atas rumput pun membeku. Ini sih bukan tidur dalem kulkas, ini mah tidur dalam freezer. Mau merasakan dinginnya gimana? Coba saja ngecamp di Surya Kancana pas musim kemarau, suhu udara di sana antara 5′ – 2′ C ketika malam sampai shubuh, dan rasakan sensasinya :D.

Jam 8 matahari mulai hangat, es-es mulai mencair. Bau  belerang mulai menyengat Moyannnnn :). Kita masak, beres-beres, foto-foto lalu pulanggggg :).

DSC05910

DSC_0746

DSC_0791

To be continued….

Turun Gunung Gede

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.